Oleh illa suryaningsih BKb 101014051
PENDAHULUAN
Guidance and
Counseling atau
yang lazim dikenal sebagai Bimbingan dan Konseling (disingkat: BK) di Indonesia
sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1960-an. Pencangkokkan layanan BK secara
resmi dalam sistem pendidikan baru dimulai pada tahun 1975, yakni dengan
dicantumkannya pelayanan tersebut pada Kurikulum 1975. Ruang lingkup
implementasinya pun mulai diperluas untuk jenjang SD, SLTP, dan SLTA. Dalam
perkembangan selanjutnya, Surat Keputusan (SK) Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara (Menpan) No. 026 tahun 1989 menyebutkan secara eksplisit bahwa
pekerjaan BK dan pekerjaan mengajar berkedudukan seimbang dan sejajar.
Melalui keputusan tersebut, tugas pokok seorang guru selain mengajar juga dapat memberikan layanan bimbingan dan konseling.
Melalui keputusan tersebut, tugas pokok seorang guru selain mengajar juga dapat memberikan layanan bimbingan dan konseling.
Gambar 1.
Spektrum Layanan Bimbingan dan Konseling;
Dari Tidak
Profesional Menuju Profesional
Walaupun demikian, dewasa ini
tugas-tugas pokok pelayanan BK tidak lagi ditangani secara sambilan oleh
guru-guru sekolah yang notabene adalah pengampu bidang studi-bidang
studi tertentu. Kategorisasi “pendidik” di ruang lingkup pendidikan selain guru
bidang studi dan guru wali kelas (dapat diposisikan sebagai guru pembimbing),
juga bertambah luas dengan diperkenalkannya profesi guru BK sebagai bagian dari
komponen pendidik (pengakuan
eksistensi profesi bimbingan dan
konseling ini sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 1 ayat
6 dan Permendiknas No. 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor).
Seiring perkembangannya itu,
beragam harapan dan optimisme banyak disandangkan pada guru-guru BK yang dapat
membawa angin segar perubahan dalam suasana dan proses pendidikan di sekolah.
Fokus kerjanya jelas dan tegas, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Ivey dan
Goncalves (1987), menghadapi kemungkinan-kemungkinan munculnya psychological
problems dalam kehidupan siswa dan proses tumbuh-kembang siswa dalam
konteks pendidikan. Begitu pula dalam halnya dalam konteks kebijakan yang
tertuang dalam rambu-rambu penyelenggaraan bimbingan dan konseling dalam
pendidikan formal di Indonesia (Dikti, 2008) dijelaskan bahwa jika di dalam
Permendiknas No. 23/2006 dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus
dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran bidang studi, maka kompetensi
peserta didik yang harus dikembangkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling
adalah kompetensi kemandirian untuk mewujudkan diri (self
actualization) dan pengembangan kapasitasnya (capacity development) yang
dapat mendukung pencapaian kompetensi lulusan. Begitu pula sebaliknya, kesuksesan
peserta didik dalam mencapai SKL akan secara signifikan menunjang terwujudnya
pengembangan kemandirian.
Tuntutan yang dihadapi oleh guru
bimbingan dan konseling saat ini sangatlah kompleks. Kita seluruhnya sudah
mafhum bahwa bimbingan dan konseling sebagai bagian integral yang tidak
terpisahkan dari sistem pendidikan memiliki peran penting dan strategis dalam
mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang holistik. Tujuan utama layanan BK
di sekolah adalah memberikan dukungan pada pencapaian kematangan kepribadian,
keterampilan sosial, kemampuan akademik, dan bermuara pada terbentuknya
kematangan karir individual yang diharapkan dapat bermanfaat di masa yang akan
datang.
Pertanyaan yang perlu dimunculkan
kemudian; bagaimanakah peran dan fungsi yang harus dimainkan secara optimal
oleh guru bimbingan dan konseling dalam menjawab tantangan dan tuntutan yang
sedemikian kompleks tersebut? Paper ringkas berikut ini mencoba mendiskusikan
secara lebih jelas dan sistematis tentang beragam situasi yang terjadi dalam suasana
pendidikan, karakteristik kejiwaan generasi muda/pelajar pada umumnya, dan
karakter profesional guru bimbingan dan konseling di sekolah.
POTRET NYATA LAYANAN BK DI SEKOLAH; ANTARA AMERIKA DAN
INDONESIA
Perkembangan bimbingan dan
konseling yang dimulai sejak awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1980-an di
Amerika bukannya tanpa kendala dan masalah. Pada tahun 1983, Komisi Nasional
Pendidikan di Amerika Serikat saat itu mempublikasikan rekomendasi yang membuat
publik tersentak kaget; A Nation at Risk and The Imperative of Educational
Reform (Negara
dalam Bahaya; Pentingnya
Reformasi Pendidikan). Beberapa komisioner pendidikan menjelaskan bahwa
siswa-siswa di Amerika Serikat telah tertinggal jauh dari siswa-siswa yang ada
di Eropa Barat dan negara-negara pasifik lainnya dalam hal prestasi akademik.
Fenomena tersebut disebabkan oleh rendahnya standar akademik yang harus
dicapai, sebagian besar guru tidak memiliki inspirasi, dan kurikulum yang tidak
berkembang optimal (Brown & Trusty, 2005).
Dalam hal moral, sekolah-sekolah
menengah di Amerika Serikat berhadapan dengan tingginya kekerasan di kalangan
pelajar, kenaikan rata-rata kehamilan siswa di luar nikah, dan sebagainya.
Inilah kenyataan yang terjadi di negeri yang dianggap sebagai kampiun dalam demokrasi
dan pendidikan. Di tengah kecaman dunia internasional, terpilihnya George W.
Bush pada tahun 2000 setidak-tidaknya memberi angin segar bagi masa depan
reformasi pendidikan di Amerika Serikat. Di masa Bush, kongres AS telah
mengamandemen Undang-Undang Pendidikan Dasar dan Menengah (Elementary and
Secondary Act) dan melahirkan UU yang berpihak pada anak (No Child Left
Behind Act).
Sampai dengan diterbitkannya UU
tersebut, Gysbers mengamati bahwa sebagian besar konselor sekolah di Amerika
Serikat lebih banyak disibukkan oleh dan menghabiskan waktu untuk tugas dan
kewajiban yang tidak professional. Penelitian yang dilakukan oleh ASCA (American
School Counselor Association) menunjukkan bahwa sebagian besar konselor
sekolah menghabiskan waktu antara 1 sampai 88% dari keseluruhan waktu bekerja
hanya untuk kegiatan-kegiatan yang tidak profesional dan tidak ada kaitannya
langsung dengan layanan bimbingan dan konseling (Brown & Trusty, 2005).
Tugas-tugas yang tidak profesional tersebut menurut ASCA, seperti kegiatan
pendaftaran dan mengatur penjadwalan siswa baru (registering and scheduling),
menangani problem kedisplinan siswa di sekolah, pengaturan berlebihan dalam hal
seragam sekolah, mengerjakan tugas klerikal dan administratif, bahkan sampai
dengan menggantikan tugas guru dalam mengajarkan mata pelajaran atau subjek
tertentu di luar bidang layanan BK.
Di tengah arus deras reformasi
pendidikan, berbagai organisasi profesi bidang layanan BK yang ada di negeri
Paman Sam tersebut memandang bahwa reformasi yang terjadi merupakan kesempatan
emas untuk mereposisi program bimbingan dan konseling sebagai bagian penting
dari misi pendidikan (sekolah) dalam mendukung pencapaian prestasi akademik dan
fasilitasi tugas perkembangan siswa di berbagai aspek. Dengan demikian, kesimpulan
yang dapat diambil dari fenomena yang terjadi di Amerika Serikat tersebut,
yaitu paradigma dan implementasi model BKK merupakan bagian penting yang tidak
terpisahkan dari gelombang reformasi sekolah yang terjadi saat itu.
Lalu, bagaimana dengan sejarah
kita sendiri? implementasi layanan BK di Indonesia juga berhadapan dengan
berbagai hambatan dan sejumlah kendala serius. Problematika tersebut tampak
pada citra negatif yang muncul di kalangan siswa dan sejumlah kalangan yang
menganggap bahwa BK hanya
menangani ”anak-anak bermasalah” dan bertugas memberikan skoring pelanggaran
atas pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh siswa. Yang lebih ironis lagi,
munculnya pola sikap negatif dan kenakalan siswa pada umumnya seringkali
dianggap sebagai dampak dari kurang berfungsinya layanan BK di sekolah.
Masalah-masalah tersebut hampir dapat dikatakan sama persis dengan kondisi
bimbingan dan konseling yang terjadi di Amerika Serikat sebelum reformasi
sekolah dimulai.
Sorotan dan kritikan paling tajam
terhadap unjuk kerja dan profesionalisme BK dalam ruang lingkup pendidikan
justru datang dari siswa-siswa sekolah yang merupakan subyek pendidikan dan
layanan BK itu sendiri. Inilah indikator paling nyata yang perlu diidentifikasi
dan dieksplorasi lebih jauh. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai konselor
sebaya dan pendamping dari kalangan relawan sosial (social volunteer)
yang banyak bergumul dengan problematika pendidikan dan perkembangan remaja
selama kurang lebih lima tahun, penulis dapat menyimpulkan bahwa persepsi dan
responsivitas kebanyakan siswa terhadap guru BK maupun BK itu sendiri adalah
negatif dan kurang simpatik.
Menurut anggapan kebanyakan
siswa, guru BK menjelma menjadi polisi sekolah yang angker dan lembaga BK
sendiri berubah fungsi menjadi fungsi administrasi siswa yang bertujuan
mendisiplinkan, menertibkan, dan memberi hukuman (punishment) bagi
siswa-siswa yang dianggap “bertindak subversif” dan tidak taat peraturan-tata
tertib sekolah. Bahkan yang cukup menggelikan lagi, di beberapa sekolah peran
guru BK tak ubahnya seperti satpam, yakni pagi-pagi sekali sudah harus hadir
dan berdiri di depan gerbang sekolah untuk mengamati siswa-siswa mana saja yang
dianggap terlambat masuk sekolah.
Ada pengalaman yang menggelikan
bagi penulis ketika menjadi dosen pembimbing program Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) Universitas Negeri Yogyakarta di beberapa sekolah di kota
Yogyakarta selama dua tahun berturut-turut. Berdasarkan observasi partisipatif
penulis dalam kegiatan-kegiatan BK, ternyata terdapat banyak disorientasi peran
dan fungsi pembimbing-konselor sekolah yang terjadi dalam jangka waktu yang
sangat lama. Tugas pokok memberikan layanan BK tidak berjalan efektif, karena
bagian BK pada sekolah tersebut hanya menjalankan tugas-tugas administrasi
kesiswaan. Misalnya, mendata siswa baru dan menjadi penyelenggara (event-organizer)
setiap kali ada kegiatan-kegiatan formal-kedinasan. Padahal, tugas-tugas
manajerial dan adminisrasi pendidikan itu adalah bukanlah tugas pokok bimbingan
dan konseling. Apa yang terjadi di sekolah tak ubahnya seperti lingkaran setan.
Seringkali muncul ungkapan bahwa sebagian besar guru BK mengatakan bahwa mereka
tidak dihargai karena selalu dikaitkan dengan tugas dan kewenangan yang bukan
pada tempatnya. Sebaliknya, administrator dan guru yang lain justru memberikan
beban kerja administratif karena menganggap bimbingan dan konseling seringkali
belum menunjukkan unjuk kerja yang signifikan. Yang terjadi kemudian; situasi
saling menyalahkan satu dengan yang lain.
Terlepas dari perdebatan salah
atau benar anggapan pihak luar terhadap kinerja BK, patutlah dipertanyakan dari
dalam tubuh profesi BK sendiri; bagaimana mungkin guru-guru BK di sekolah
memiliki kapabilitas-kreatif untuk mengelola dan menggagas strategi aksi
terhadap eskalasi problem pelajar dan remaja yang sedemikian njlimet dan
memformat gerakan-gerakan pelayanan BK yang lebih partisipatoris, sementara
mereka sudah sedemikian jauh terseret ke dalam gejala birokratisasi yang justru
menumpulkan visi dan elan-vital diri sebagai seorang profesional. Stagnasi BK
di sekolah pada akhirnya berimplikasi pada belum maksimalnya upaya-upaya
pendidikan psikologis (psychological education) terhadap siswa-siswi
sekolah yang masih berstatus sebagai remaja.
Penulis pribadi memandang bahwa
berbagai problem dan kendala dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah tersebut berawal dari pemahaman paradigmatik yang
setengah-setengah tentang falsafah individu, kerangka konseptual pendidikan
serta hubungannya dengan bimbingan dan konseling. Keadaan serba setengah
tersebut seperti tampak premis-premis berikut;
1. Anak/siswa masih dipandang
ibarat “botol kosong” yang harus dijejali dengan berliter-liter materi,
nasihat, dan petuah, dan minim keteladanan dari orang dewasa. Filosofi botol
kosong telah melahirkan pendekatan pendidikan dan bimbingan yang berorientasi
menggurui, menginstruksi, mengomando. Walaupun pendulum wacana dalam falsafah
pendidikan telah jauh meninggalkan naturalisme, agnostisisme, psikoanalisis,
dan behaviorisme yang mendominasi hampir seluruh bidang kehidupan sepanjang
abad yang lalu, toh apa yang terjadi di sekolah sekarang ini belum
beranjak sama sekali.
2. Tujuan pendidikan dan
bimbingan tidak dipahami secara holistik. Pendidikan seringkali direduksi
sebatas pada pencapaian tujuan ekonomik, yakni mempersiapkan generasi muda
untuk mencapai jenjang karir, kemapanan secara ekonomi, dan kemampuan
berkompetisi ketat di kancah pergaulan global. Sementara, pendidikan holistik
mengasumsikan bahwa tujuan dan proses pendidikan harus memiliki basis yang kuat
dari segi filosofis, sosio-antropologis, bermuatan kultural, dan menyentuh
sampai ke relung kejiwaan (psikologis).
3. Pada tataran kelembagaan,
budaya sekolah dan etos kerja keras belum menjadi ruh utama yang menggerakkan
elemen organisasi dan interaksi sejawat dalam unit-unit pendidikan. Lembaga
sekolah tidak ditopang oleh kepemimpinan yang transformatif dan berwatak
entrepreneur; lebih banyak dikendalikan oleh asas saling menguntungkan,
nepotisme, dan koncoisme. Kolaborasi sejawat, suasana peng-imbas-an pengalaman
dan pengetahuan hanya pepesan kosong belaka.
4. Pendidikan dan bimbingan yang
tercerabut dari akar kesetaraan dan keadilan (equality and equity) telah
memunculkan fenomena diskriminasi pembiayaan, diskriminasi sarana dan
prasarana, ketidakadilan perlakuan antar si pintar dan si bodoh, kesenjangan
antara si kaya dan si miskin.
OPTIMALISASI PERAN DAN FUNGSI MELALUI BK KOMPREHENSIF;
SEKEDAR PILIHAN ATAUKAH KEHARUSAN?
Diskursus tentang model Bimbingan
dan Konseling Komprehensif (selanjutnya disebut BKK) selama kurang lebih satu
dekade terakhir telah menjadi tanda tanya besar tidak hanya di kalangan
praktisi layanan BK di sekolah, tetapi juga seolah diragukan oleh beberapa
kalangan akademisi BK. Gelombang besar BKK yang diwacanakan oleh organisasi
profesi ABKIN dan “madzhab Bandung-Yogya” tersebut setidak-tidaknya telah
menimbulkan gesekan dan tarik-menarik yang cukup kuat di kalangan elit
organisasi profesi (bahkan melibatkan elit birokrasi di pemerintahan) dalam
kaitannya dengan kebijakan praktis yang akan diberlakukan di institusi
pendidikan (sekolah). Tanpa dapat dibendung, wacana BKK tersebut terus
menggelinding jauh walaupun dengan “dukungan setengah hati’ dari birokrat
pendidikan. Harus diakui bahwa pada akhirnya dinamika perkembangan profesi
bimbingan dan konseling lebih banyak diwarnai interupsi dan intervensi oleh
pihak-pihak yang berpikir sempit dan pragmatis.
Walaupun minim dukungan dari
birokrat pendidikan, inisiatif pengembangan model layanan BKK perlu kita lihat
dari perspektif akademis yang bebas kepentingan dan bebas nilai. Kerisauan
sebagian besar guru BK tentang sejauhmana model BKK ini telah diadopsi dan
diakomodasi sebagai pola layanan resmi yang akan dikembangkan di sekolah oleh
pemerintahan di tingkat lokal seharusnya tidak perlu muncul secara berlebihan,
karena pada dasarnya organisasi profesi memiliki independensi akademik untuk
mengembangkan “body of knowledge”-nya masing-masing tanpa harus
terpasung oleh ada atau tidak ada dukungan dari birokrat.
Bercermin pada premis-premis yang
menjadi penyebab buramnya potret pendidikan dan layanan BK di sekolah selama
ini, maka satu-satunya jalan keluar adalah membangun kembali paradigma
pendidikan yang holistik dan layanan BK yang komprehensif. Jalan keluar ini
bukan alternatif pilihan, namun sebuah keniscayaan/keharusan. Sifat layanan
bimbingan dan konseling yang komprehensif dapat dimaknai sebagai berikut
(Gysbers & Henderson, 2006):
1. Tujuan BK bersifat kompatibel
dengan tujuan pendidikan. Artinya; dalam pendidikan ada standar dan kompetensi
tertentu yang harus dicapai oleh siswa. Oleh karena itu, segala aktivitas dan
proses dalam layanan BK harus diarahkan pada upaya membantu siswa dalam
pencapaian standar kompetensi dimaksud.
2. Program BK bersifat
pengembangan (based on developmental approach), yakni; meskipun seorang
konselor dimungkinkan untuk mengatasi problem dan kebutuhan psikologis yang
bersifat krisis dan klinis, pada dasarnya fokus layanan BK lebih diarahkan pada
usaha memfasilitasi pengalaman-pengalaman belajar tertentu yang membantu siswa
untuk tumbuh, berkembang, dan menjadi pribadi yang mandiri.
3. Program BK melibatkan
kolaborasi antar staff (team-building approach), yaitu program bimbingan
dan konseling yang bersifat komprehensif bersandar pada asumsi bahwa tanggung
jawab kegiatan bimbingan melibatkan seluruh personalia yang ada di sekolah
dengan sentral koordinasi dan tanggung jawab ada di tangan konselor yang
bersertifikasi
(certified counselors).
Konselor tidak hanya menyediakan layanan langsung untuk siswa, melainkan juga
bekerja secara konsultatif dan kolaboratif dengan tim bimbingan yang lain, staf
personel sekolah yang lain (guru dan tenaga administrasi), bahkan orangtua dan
masyarakat.
4. Program BK dikembangkan
melalui serangkaian proses sistematis sejak dari perencanaan, desain,
implementasi, evaluasi, dan keberlanjutan. Melalui penerapan fungsi-fungsi
manajemen tersebut diharapkan kegiatan dan layanan BK dapat diselenggarakan
secara tepat sasaran dan terukur.
5. Program BK ditopang oleh
kepemimpinan yang kokoh. Faktor kepemimpinan ini diharapkan dapat menjamin
akuntabilitas dan pencapaian kinerja program BK
Bowers dan Hatch (2000, 11)
bahkan menegaskan bahwa program bimbingan dan konseling sekolah tidak hanya
bersifat komprehensif dalam ruang lingkup, namun juga harus bersifat preventif
dalam disain, dan bersifat pengembangan dalam tujuannya (comprehensive in
scope, preventive in design, and developmental in nature). Pertama,
bersifat komprehensif berarti program BK harus mampu memfasilitasi
capaian-capaian perkembangan psikologis siswa dalam totalitas aspek bimbingan
(baik pribadi-sosial, akademik, dan karir). Layanan yang diberikan pun tidak
hanya terbatas pada siswa dengan karakter dan motivasi unggul serta siap
belajar saja. Layanan BK ditujukan untuk seluruh siswa tanpa syarat apapun.
Dengan harapan, setiap siswa dapat menggapai sukses di sekolah dan menunjukkan
kontribusi nyata dalam masyarakat.
Kedua, bersifat
preventif dalam disain mengandung arti bahwa pada dasarnya tujuan pengembangan
program BK di sekolah hendaknya dilakukan dalam bentuk yang bersifat preventif.
Upaya pencegahan dan antisipasi sedini mungkin (prevention education)
hendaknya menjadi semangat utama yang terkandung dalam kurikulum bimbingan yang
diterapkan di sekolah (kegiatan klasikal). Melalui cara yang preventif tersebut
diharapkan siswa mampu memilah sikap dan tindakan yang tepat dan mendukung
pencapaian perkembangan psikologis ke arah yang ideal dan positif. Beberapa
program yang dapat dikembangkan seperti pendidikan multikultarisme dan
antikekerasan, mengembangkan keterampilan resolusi konflik, pendidikan
seksualitas, kesehatan reproduksi, dan lain-lain.
Ketiga, bersifat
pengembangan dalam tujuan didasari oleh fakta di lapangan bahwa layanan
bimbingan dan konseling sekolah selama ini justru kontraproduktif terhadap
perkembangan siswa itu sendiri. Kegiatan layanan bimbingan dan konseling
sekolah yang berkembang di Indonesia selama ini lebih terfokus pada
kegiatan-kegiatan yang bersifat administratif dan klerikal (Kartadinata, 2003),
seperti mengelola kehadiran dan ketidakhadiran siswa, mengenakan sanksi
disiplin pada siswa yang terlambat dan dianggap nakal. Dengan demikian, wajar
apabila dalam masyarakat dan bagi siswa-siswa sendiri guru bimbingan dan
konseling distigmakan sebagai polisi sekolah. Konsekuensi kenyataan ini, pada
akhirnya menyebabkan layanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan di
sekolah akhirnya terjebak dalam pendekatan
tradisional dan intervensi
psikologis yang berorientasi pada paradigma intrapsikis dan sindrom klinis.
Pendekatan dan tujuan layanan
bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan perilaku
menyimpang (maladaptive behavior) dan bagaimana mencegah penyimpangan
perilaku tersebut, melainkan juga berurusan dengan pengembangan perilaku
efektif (Kartadinata, 1999; Kartadinata, 2003; Galassi & Akos, 2004). Sudut
pandang perkembangan ini mengandung implikasi luas bahwa pengembangan perilaku
yang sehat dan efektif harus dapat dicapai oleh setiap individu dalam konteks
lingkungannya masing-masing. Dengan demikian, bimbingan dan konseling
seharusnya perlu diarahkan pada upaya memfasilitasi individu agar menjadi lebih
sadar terhadap dirinya, terampil dalam merespon lingkungan, serta mampu
mengembangkan diri menjadi pribadi yang bermakna dan berorientasi ke depan (Kartadinata,
1999; Kartadinata, 2003).
Gambar 2. Paradigma
Lama dan Paradigma Baru
Dalam rangka mencapai paradigm
baru yang lebih menyeluruh dalam berbagai aspek tersebut, maka setidak-tidaknya
upaya revitalisasi peran dan fungsi guru bimbingan dan konseling di sekolah
harus mencakup beberapa aspek berikut, yaitu:
1. Guru bimbingan dan konseling
perlu menyegarkan kembali pemahaman dan paradigmanya tentang hakikat dan tujuan
bimbingan sebagai bagian integral dari pendidikan; manusia dalam berbagai
dimensi, baik dimensi individualitas, sosialitas, Paradigma Usang Pendidikan
•Pemaknaan yang keliru tentang hakikat manusia dan pemanusiaan; anak
ibarat "botol kosong". Pendidikan identik dengan menggurui,
menginstruksi, dan mengomando
•Tujuan pendidikan tidak holistik; hanya membentuk "man of economy". Padahal pendidikan bermuatan filosofis, sosio-antropologis,
kultural, dan psikologis
•Unit pendidikan tidak memiliki budaya sekolah dan etos kerja; tidak
ditopang oleh kepemimpinan yang kokoh dan kolaborasi sejawat
•Praktik pendidikan cenderung diskriminatif; tidak memandang penting
kesejajaran (equality) dan keadilan (equity)
Paradigma BK Konvensional
•Anak seringkali dianggap sebagai miniatur orang dewasa; BK menganggap
model untuk orang dewasa cocok untuk anak-anak/remaja
•Layanan BK kurang menyentuh keseluruhan domain perkembangan
pribadi-sosial, akademik, dan karir. Seringkali domain karir lebih menonjol
ketimbang yang lain
•BK tidak ditopang oleh kepemimpinan sekolah yang kokoh, aspek
manajerial yang berkesinambungan, dan iklim kerjasama yang positif
•BK identik dengan masalah dan cenderung menangani anak bermasalah
Paradigm BK Komprehensif
•Pendidikan dan bimbingan merupakan proses pendewasaan dan
pemanusiaan. Tradisi dialog dan unsur keteladanan sangat penting
•Layanan BK harus dilandasi oleh basis kepribadian dan kepekaan sosial
yang efektif, dan bermuara pada terbentuknya kemampuan belajar serta kematangan
karir
•BK harus didukung oleh iklim kepemimpinan yang kokoh, manajemen yang
berkesinambungan, dan iklim kerjasama
•Education for all, maka BK juga for all, tanpa diskriminasi
moralitas, dan religiusitas.
Upaya ini dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan pengembangan profesi
melalui berbagi pengalaman, pendidikan dan pelatihan dalam jabatan, serta
lainnya.
2. Guru bimbingan dan konseling
seoptimal mungkin dapat menginternalisasi karakteristik profesi konselor
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kepribadian dalam dirinya.
Karakteristik dimaksud mencakup; peduli dan bersikap empati terhadap orang
lain, punya rasa percaya diri (self-confidence), berminat secara sosial
terhadap orang lain tanpa pretensi (authentic), berani mengambil resiko
(courage), inventif dan kreatif. Pencapaian karakter tersebut juga perlu
diimbangi dengan unjuk perilaku dan kepribadian yang peduli respek terhadap
siswa. Sifat seorang guru yang peduli harus dapat diwujudkan dalam bentuk sikap
menghargai kehadiran siswa (respectful), menerima secara utuh (accepting),
mampu memahami kondisi siswa (understanding), pribadi yang dapat
dipercaya (trustworthy), bersikap peduli (caring), dan ramah-bersahabat
(friendly), dan lain sebagainya.
Gambar 3. Karakteristik
Guru BK yang Peduli
3. Guru bimbingan dan konseling
harus mampu menampilkan hubungan kerjasama dan kolaborasi yang efektif dan
positif dengan seluruh pihak terkait langsung maupun tidak langsung atas
layanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya. Pihak-pihak lain
tersebut, seperti siswa, guru mapel/bidang studi, manajer dan staf sekolah,
orang tua siswa, dan lingkungan masyarakat sekitar.
Gambar 4. Relasi Guru
BK dengan Pihak Terlibat
4. Guru BK harus mampu menerapkan
konsep dan praktik manajemen yang berkesinambungan meliputi aspek perencanaan
program, pengorganisasian sumber daya, implementasi program, evaluasi
pelaksanaan dan hasil, serta memanfaatkan hasil evaluasi sebagai basis data dan
input untuk perencanaan, perbaikan dan pengembangan program lebih lanjut.
Akhirul kalam, dengan penyegaran
kembali tentang paradigma peran dan fungsi layanan bimbingan dan konseling,
termasuk pula unjuk kerja yang harus ditampilkan oleh guru bimbingan dan
konseling, layanan bimbingan dan konseling semakin menemukan makna dan
bentuknya yang nyata dalam mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional yang
bersifat holistik. Wacana yang berkembang selama ini perlu ditindaklanjuti
dalam forum yang lebih kecil, terbatas, dengan target terukur; bahkan jika
perlu ada model sekolah yang dapat menjadi rujukan bagi pengembangan program
bimbingan dan konseling yang berorientasi pada pendekatan yang lebih
komprehensif.
Sleman, 7 Mei 2010
Daftar
pustaka
Bowers, J. L. & Hatch, P. A.
(2000). The National Model for School Counseling Programs. American
School Counselor Association
Brown, D. & Trusty, J.
(2005). Designing and Leading Comprehensive School Counseling Programs;
Promoting Student Competence and Meeting Student Needs
Departemen Pendidikan Nasional.
(2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan
Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: Penerbit UPI
Galassi, J. P. & Akos, P.
(2004). Developmental Advocacy: Twenty-First Century School Counseling, Journal
of Counseling and Development, Vol. 82, 2004, p. 146-157
Gysbers, N. C. & Henderson,
P. (2006). Developing & Managing Your School Guidance and Counseling
Program. Alexandria: American Counseling Association
Ivey, A. & Goncalves, O. F.
(1987). Toward a Development Counseling Curriculum:. Counselor Education
and Supervision
Kartadinata, S. (1999). Quality
Improvement and Management System Development of School Guidance and Counseling
Services, the Journal of Education, Vol. 6, December, 1999
Kartadinata, S. (2003). Bimbingan
dan Konseling Perkembangan; Pendekatan Alternatif Bagi Perbaikan Mutu dan
Sistem Manajemen Layanan Bimbingan dan Konseling Sekolah
No comments:
Post a Comment