TEORI
BELAJAR GUILFORD
BAB I
PENDAHULUAN
Kecerdasan dalam Belajar
Teori Guilford
banyak membicarakan mengenai struktur intelejensi/kecerdasan seseorang yang
banyak mengarah pada kretivitas seseorang. Guilford menerangkan tentang
Kecerdasan yang di diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab melalui
situasi sekarang untuk semua peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang
akan datang. Dalam konteks ini maka yang namanya belajar adalah termasuk
berpikir, atau berupaya berpikir untuk menjawab segala masalah yang dihadapi.
Konsepnya memang kompleks, karena setiap masalah akan berbeda cara
penanganannya bagi setiap orang. Untuk itu diperlukan perilaku intelejen, yang
tentu sangat berbeda dengan perilaku nonintelejen. Yang pertama (perilaku
intelejen) ditandai dengan adanya sikap dan perubahan kreatif, kritis, dinamis,
dan bermotif (bermotivasi), sedangkan yang kedua keadaannya sebaliknya.
Pengertian kebiasaan juga mengandung arti kebiasaan kreatif, bukan kebiasaan
pasif reaktif (mekanis) seperti pada pandangan kaum behavioris.
Berpikir
Kreatif
Peningkatan
self regulated learning dapat dilakukan dengan cara menguatkan kemampuan
berpikir kreatif. Sebab, elemen-elemen dalam berpikir kreatif dapat menjadi
landasan bagi terwujudnya self regulated learning. Berpikir kreatif adalah
berpikir lintas bidang, berpikir bisosiatif, berpikir lateral, berpikir
divergen. Berpikir kreatif ditandai dengan karakteristik berpikir yang fluency,
flexibility, originality, elaboration, redifinition, novelty
(Guilford, 1973) Di samping itu, berpikir kreatif juga menuntut adanya
pengikatan diri terhadap tugas (task commitment) yang tinggi. Artinya,
kreativitas menuntut disiplin yang tinggi dan konsisten terhadap bidang tugas.
Kreativitas,
menurut Guilford (1967), dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti
kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude,
antara lain temperamen, motivasi,
serta komitmen menyelesaikan tugas. Hidup berarti menghadapi masalah, dan
memecahkan masalah berarti tumbuh berkembang secara intelektual (J.P.
Guilford).
BAB
II
PEMBAHASAN
Teori Guilford
Hidup
berarti menghadapi masalah, dan memecahkan masalah berarti tumbuh berkembang
secara intelektual (J.P. Guilford) .P. Guilford mengemukakan bahwa
inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”,
yaitu :
Operasi
Mental (Proses Befikir)
- Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi
yang baru).
- Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari).
- Memory Recording (ingatan yang segera).
- Divergent Production (berfikir melebar atau banyak kemungkinan jawaban/
alternatif).
- Convergent Production (berfikir memusat atau hanya satu kemungkinan
jawaban/alternatif).
- Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik,
akurat, atau memadai).
Content
(Isi yang Dipikirkan)
- Visual (bentuk konkret atau
gambaran).
- Auditory.
- Word Meaning (semantic).
- Symbolic (informasi dalam
bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik).
- Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui
penginderaan, ekspresi muka atau suara).
Contoh
: Sejak umur 3 tahun anakku sudah mampu membaca. 7 bulan kemudian semua kata berbahasa Indonesia dapat dibacanya dengan baik. Layaknya
anak di bangku sekolah dasar. Karena jenis tulisan favoritnya adalah dongeng
atau cerita anak, ditambahkannya mimik dan intonasi untuk menggambarkan
pembedaan tokoh. Lambat laun kerap muncul pertanyaan seputar kata yang belum
dipahaminya. Kadang dilemparkannya dengan emosi, misalnya: “Kenapa sih, anak
itu tidak mau meminjamkan mainannya? Ara aja mau kasih pinjam mainan ke
teman-teman.”
Ilustrasi
riil di atas menggambarkan tercapainya parameter konten menurut struktur
kemampuan intelektual menurut Guilford (1982); digambarkan sebagai kelompok
(tipe) informasi, seperti: berwujud, simbolik, semantik, menggambarkan perilaku
dan merupakan interaksi nonverbal individu. Singkat kata, model ‘Guilford’
menunjukkan halaman yang sebenarnya tidak baru dalam pendidikan dan konsep
keberbakatan. Sebuah rasionalisasi pengamatan keberbakatan dari berbagai segi,
yang dihantarkan lewat metode mendongeng atau bercerita bagi anak. Dari sini
kita akan beranjak pada peran vital pendidikan dalam menentukan tidak hanya
keberlangsungan masyarakat, namun juga mengukuhkan identitas individu dalam
masyarakat.
Product
(Hasil Berfikir)
- Unit (item tunggal informasi).
- Kelas (kelompok item yang
memiliki sifat-sifat yang sama).
- Relasi (keterkaitan antar
informasi).
- Sistem (kompleksitas bagian
saling berhubungan).
- Transformasi (perubahan,
modifikasi, atau redefinisi informasi).
- Implikasi (informasi yang
merupakan saran dari informasi item lain).
Struktur
Intelegensi
Inteligensi
dan IQ
Inteligensi
adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan
menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
- Faktor bawaan atau keturunan. Penelitian
membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50.
Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi,
sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi
sekitar 0,40 – 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 –
0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar
yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat
tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
- Faktor lingkungan. Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah
dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti.
Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak
sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi,
rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Orang
seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini
mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah
dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient,
adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ
hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak
menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor
IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age)
dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur
mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur
dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini
kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi
kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi
perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Pengukuran
Inteligensi
Pada
tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog
asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk
mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang
pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada
tahun 1911.
Tahun
1916, Lewis Terman, seorang psikolog
dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan
utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai
rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan
ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah
diperkenalkan oleh seorang psikolog
Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence
Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur
kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah
satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu
terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan
bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general
factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori
ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang
dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence
Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)
untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes
dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat
tes tersebut dibuat.
Inteligensi
dan Bakat
Inteligensi
adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, merespon secara benar dan tepat
serta menyesuaikan dengan lingkungan. Di dalam struktur inteligensi
menurut Guilford juga terkandung komponen ingatan. Inteligensi merupakan suatu
konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang
amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu
suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau
ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat
atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap
kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat
tes inteligensi.
Alat
yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau
aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada
bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang
pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari
Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record
Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest
Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational
Interest Survey.
Inteligensi
dan Kreativitas
Kreativitas
merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga
merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan
antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang
memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang
bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari
berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti
oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak
selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ
tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi,
ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para
ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford
menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat
divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban
berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya
dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu
kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan
informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional
yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau
kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai
oleh ilmu pengetahuan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa inteligensi merupakan potensi yang
diturunkan dan dimiliki oleh setiap orang untuk berfikir secara
logis, berfikir abstrak dan kelincahan berfikir.
Belakangan
ini banyak orang menggugat tentang kecerdasan intelektual (unidimensional),
yang konon dianggap sebagai anugerah yang dapat mengantarkan kesuksesan hidup
seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana dengan tokoh-tokoh dunia, seperti
Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona
dan Pele sang legenda sepakbola dunia,. Apakah mereka termasuk juga orang-orang
yang genius atau cerdas ? Dalam teori kecerdasan tunggal (uni-dimensional),
kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka
muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan
individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja. Dalam
hal ini, Teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya sebagai
tampak dalam tabel di bawah ini:
INTELIGENSI
|
KEMAMPUAN
INTI
|
1.
Logical – Mathematical
|
Kepekaan
dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan
untuk berfikir rasional.
|
2.
Linguistic
|
Kepekaan
terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa.
|
3.
Musical
|
Kemampuan
untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme. Nada dan bentuk-bentuk
ekspresi musik.
|
4.
Spatial
|
Kemampuan
mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan tranformasi
persepsi tersebut.
|
5.Bodily
Kinesthetic
|
Kemampuan
untuk mengontrol gerakan tubuh dan mengenai objek-objek secara
terampil.
|
6.
Interpersonal
|
|
7.
Intrapersonal
|
Kemampuan
untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi sendiri.
|
- Pengembangan bakat matematika
Karakteristik
siswa
berbakat dalam bidang matematika (Greenes, dalam Munandar, 1999): fleksibilitas dalam
mengolah data, kemampuan luar biasa untuk menyusun data, ketangkasan mental,
penafsiran yang orisinil, kemampuan luar biasa uantuk mengalihkan gagasan, dan
kemampuan luar biasa untuk generalisasi. Greenes menambahkan bahwa siswa
berbakat matematika
lebih menyukai komunikasi lisan daripada tulisan. Saran bagi guru dalam
merencanakan model pembelajaran
bagi siswa yang berbakat matematika: mendorong pertimbangan dan pemikiran
mandiri, mendorong siswa untuk menggunakan berbagai metode untuk memecahkan
masalah yang sama, mendorong siswa untuk melakukan pengecekan, memberikan
masalah yang menantang dan luar biasa
Kecakapan
potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi
indikator-indikatornya. Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek
inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka pada dasarnya indikator
kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu
yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang diharapkan)
dan kemudahan (tanpa menghadapi hambatan dan kesulitan yang
berarti) dalam bertindak.
Dengan
indikator-indikator perilaku inteligensi tersebut, para ahli mengembangkan
instrumen-instrumen standar untuk mengukur perkiraan kecakapan umum
(kecerdasan) dan kecakapan khusus (bakat) seseorang. Alat ukur inteligensi yang
paling dikenal dan banyak digunakan di Indonesia ialah Tes Binet Simon
– walaupun sebetulnya menurut hemat penulis alat ukur tersebut masih
terbatas untuk mengukur inteligensi atau bakat persekolahan (scholastic
aptitude), belum dapat mengukur aspek – aspek inteligensi secara
keseluruhan (multiple inteligence). Selain itu, ada juga tes intelegensi
yang bersifat lintas budaya yaitu Tes Progressive Metrices (PM) yang
dikembangkan oleh Raven.
Dari
hasil pengukuran inteligensi tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat
integensi (biasa disebut IQ = Intelligent Quotient yaitu ukuran
kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
Rumus
yang biasa digunakan untuk menghitung IQ seseorang adalah : 100 % x
(Mentalege : Chrologolicalage)
Di
bawah ini disajikan norma ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
IQ
|
KATEGORI
|
PERSENTASE
|
140
|
Jenius
(Genius)
|
0.25
%
|
130-139
|
Sangat
Unggul (Very Superior)
|
0.75
%
|
120-129
|
Unggul
(Superior)
|
6
%
|
110-119
|
Diatas
rata-rata (High Average)
|
13
%
|
90-109
|
Rata-rata
(Average)
|
60
%
|
80
– 89
|
Dibawah
Rata-Rata (Low Average)
|
13
%
|
70
– 79
|
Bodoh
(Dull)
|
6
%
|
50
– 69
|
Debil
(Moron)
|
0.75
%
|
25
– 49
|
Imbecil
|
0.20
%
|
<
25
|
Idiot
|
0.05
%
|
Selain
menggunakan instrumen standar, seorang guru pada dasarnya dapat pula mendeteksi
dan memperkirakan inteligensi peserta didiknya, melalui pengamatan yang
sistematis tentang indikator– indikator kecerdasan yang dimiliki para peserta
didiknya, yaitu dengan cara memperhatikan kecenderungan kecepatan ketepatan,
dan kemudahan peserta didik dalam dalam menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan dan mengerjakan soal-soal pada saat ulangan atau ujian, sehingga pada
akhirnya akan diketahui kelompok peserta didik yang tergolong cepat
(upper group), rata-rata (midle group) dan lambat (lower group)
dalam belajarnya.
Untuk
mengukur bakat seseorang, dapat menggunakan beberapa instrumen standar,
diantaranya : DAT (Differential Aptitude Test), SRA-PMA (Science
Research Action – Primary Mental Ability), FACT (Flanagan Aptitude
Calassification Test).
Alat
tes ini dapat mengungkap tentang : (1) pemahaman kata; (2) kefasihan
mengungkapkan kata; (3) pemahaman bilangan; (4) tilikan ruangan; (5) daya
ingat; (6) kecepatan pengamatan; (7) berfikir logis; dan (8) kecakapan gerak.
Perlu
dicatat bahwa pengukuran tersebut, baik menggunakan instrumen standar atau
hanya berdasarkan pengamatan sistematis guru bukanlah bersifat memastikan
tingkat kecerdasan atau bakat seseorang namun hanya sekedar memperkirakan
(prediksi) saja, untuk kepentingan pengembangan diri. Begitu juga kecerdasan
atau bakat seseorang bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tingkat
keberhasilan atau kesuksesan hidup seseorang.
Dalam
rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated Learning),
Balitbang Depdiknas telah mengidentifikasi ciri-ciri keberbakatan
peserta didik dilihat dari aspek kecerdasan, kreativitas dan
komitmen terhadap tugas, yaitu:
- Lancar berbahasa (mampu
mengutarakan pikirannya);
- Memiliki rasa ingin tahu yang
besar terhadap ilmu pengetahuan;
- Memiliki kemampuan yang tinggi
dalam berfikir logis dan kritis
- Mampu belajar/bekerja secara
mandiri;
- Ulet menghadapi kesulitan
(tidak lekas putus asa);
- Mempunyai tujuan yang
jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya
- Cermat atau teliti dalam
mengamati;
- Memiliki kemampuan memikirkan
beberapa macam pemecahan masalah;
- Mempunyai minat luas;
- Mempunyai daya imajinasi yang
tinggi;
- Belajar dengan dan cepat;
- Mampu mengemukakan dan
mempertahankan pendapat;
- Mampu berkonsentrasi;
- Tidak memerlukan dorongan (motivasi)
dari luar.
Selain
kecerdasan intelektual J.F. Guilford juga mengemukakan mengenai faktor
kepribadian seseorang. Kepribadian
sudah dimulai sekurang-kurangnya pada awal tahun 1930-an, ketika ia menerbitkan
sebuah makalah
yang menunjukan bahwa item-item yang dimaksudkan untuk mengukur sifat tunggal
introversi-ekstroversi sesungguhnya mencakup beberapa faktor kepribadian yang
berbeda, salah satu hasil dari penelitian
ini adalah inventori keperibadian yang di namakan Guilford zimmerman
Temperament Survey yang mengukur 10 sifat yang dirumuskan sebagai
faktor-aktivitas umum, rasa terkekang versus ratimia ( kecenderungan untuk
takenal susah), sifat subyek berkuasa, sifat suka bergaul, stabilitas emosi,
objektivitas, keramah-tamahan, sifat hati-hati, hubungan-hubungan pribadi, dan
kejantanan tampak, ada sedikit persamaan antara daftar ini dan daftar Cattell.
Rupanya sampai taraf tertentu, hal ini disebabkan karena Guilford lebih suka
menggunakan faktor-faktor ortogonal, sedangkan Cattell membiarkan faktor-faktornya
bersifat oblik satu sama lain.
Guilford
melihat keperibadian sebagai suatu struktur sifat yang tersusun secara
hirarkis, mulai dari tipe-tipe yang luas pada puncaknya. Kemudian
sifat-sifat primer , kemudian hexes ( yakni, diposisi-diposisi agak khusus
sepeti kebiasaan-kebiasaan.) .Guilford juga mengakui adanya sejumlah sub-area
utama dalam keperibadian serta sifat-sifat abilitas, teperamen dan dinamik.
Jadi, dalam ranah temperamen, dimensi “positf-negatif “ melahirkan faktor “
percaya dari versus interior” dalam bidang tingkah laku umum dan faktor” sifat
periang versus sifat pemalu” dalam bidang emosi.
Dalam
pembelajarn matematika Contoh soal kreativitas yang di kembangkan oleh Guilford
di terapkan mulai pada tingkat taman kanak-kanak, yaitu dalam mengenal
bilangan, mengambar bangun datar dan bangun ruang. Pada tingkat sekolah
dasar maupun menengah bahkan pada tingkat perguruan tinggi terdapat beberapa
materi yang esensisal yang memungkinkan anak untuk berkreatifitas misalnya
materi geometri,
Salah
satu contoh materi menentukan kretifitas siswa dalam memecahkan masalah :
- Siswa di kelas di perkenalkan
sebuah bangun ruang, yaitu kubus ABCD EFGH yang disusun dari beberapa
bidang sisi, siswa dikelas diperkenalkan salah satu jaring-jaring kubus :
Siswa
diberikan waktu untuk memikirkan berdasarkan contoh yang telah diberikan untuk
menemukan sendiri susunan jaring-jaring kubus yang lain.
- Dalam lomba pacuan kuda
terdapat 15 lebih kaki kuda daripada ekornya. Berapa banyak kuda pada
lomba itu?
Penye
:
Cara
1.
Misal
x = banyak kuda
x
juga menyatakan banyak ekor kuda.
x+15
= 4x
3x
= 15
x
= 5.
Jadi,
Banyak kuda adalah 5
Cara
2.
Kaki
kuda 4 dan ekor satu.
Lebihnya
ada 15
Kaki
dikurangi ekor ada 3
Bagi
15/3 = 5.
Banyak
kuda adalah 5
Cara
3.
Banyak
kuda Kaki
ekor lebihnya kaki
|
1
4
1 3
|
2
8
2 6
|
3
12
3 9
|
4
16
4 12
|
5
20
5 15
|
Banyak
kuda adalah 5.
Dari
tabel kalau lebihnya pasti kelipatan 3, jadi banyak kuda dapat dicari dengan
membagi 3 dari lebih kakinya. Misalkan lebihnya 36, maka banyak kuda pasti 12.
- Bagaimanakah cara mendapatkan 6
liter air dari suatu bak, bila hanya tersedia gelas ukuran 9 liter dan 4
liter?
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kreativitas,
menurut Guilford dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti
kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude,
antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas.
Guilford
mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces
of intellect”, yaitu : Operasi Mental (Proses Befikir) , Content (Isi yang
Dipikirkan), Visual (bentuk konkret atau gambaran). Auditory. Word
Meaning (semantic). Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata
atau angka dan notasi musik). Behavioral (interaksi non verbal yang
diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara) dan Product
(Hasil Berfikir).
Saran
Teori
Guilgord banyak membahas mengenai struktur intelektual siswa, bagaimana
kreativitas siswa, dan banyak membahas mengenai psikologi kepribadian. Kepada
rekan-rekan mahasiswa khususnya yang akan menyelesaikan tugas akhirnya yang
membahas mengenai intelegensi dan kreativitas siswa sebaiknya lebih
mengembangkan teori ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bigge,
morris l. 1982. Learning theories for teachers, edisi ke-4. New york, harper
& raw. Interner diakses 25 mei 2008.
DePorter,
Bobbi & Mike Hemacki.2002. Quantujm lerning. Bandung: Kifah.
Guilford,
j.p. 1973. Fundamental statistic in psychology and education. New York :
mc graw-hill book company
Guilford,
j.p., 1967. The nature of human intelligence, new york: mcgraw-hill.
Guilford,
j.p. 1982. Psychometric methods (2nd.ed). New york:
mcgraw-hill publishing co.ltd.
Http://Dakwah.Uin-Suka.Ac.Id/File_Ilmiah/Memor%20dakwah.Doc
(diakses 25 mei 2008).
Http://www.soisystems.com/index.html
Http://home1.pacific.net.sg/soi
Http://www.indiana.edu/intell/guilford.html.
http://tip.psychology.org/theories.html.Akses
25 Mei 2008.
Irwanto,
dkk. 1989. Psikologi umum: buku panduan mahasiswa. Jakarta, Gramedia.
Nugroho.
2008. Self-Regulated Learning Anak Berbakat e-mail: dono_dong@yahoo.comuniversitas negeri semarang, jawa tengah
Simpang empat» arsip blog » teori-teori kattell.htm (diakses 25 Mei 2008)
Simpang empat» arsip blog » teori-teori kattell.htm (diakses 25 Mei 2008)
Pawit
m. Yusup,2008.Teori-Teori Belajar Kognitif Dalam Aplikasi Ilmu Sosial,
Komunikasi, Informasi, dan Perpustakaan. Internet
diakses 25 mei 2008).
Popham,w.j.1999.
Classroon asessment: what teachers need to know. Mass: allyn-bacon.
Scandura,
j.m. & scandura, a. (1980). Structural learning and concrete operations:
an Approach to piagetian conservation. Ny: praeger. Available at:
Http://tip.psychology.org/theories.html. Akses 25 Mei 2008.
Siswono,
Tatag Yuli Eko Pembelajaran Matematika Berbasis Pemecahan Masalah “Realistik”
(Realistics Problem Solving). makalah
seminar pendidikan.Makasar, 23 Pebruari 2008 yang diadakan oleh MGMP Matematika
Makassar.
Soenarto,
hardi.dkk. 2007. Memahami Psikotes. Bandung: CV. Pustaka Grafika.
Sudrajat,
Ahmad. Internet. Akses 25 mei 2008 http:// konseling
kita.files.wordpress.com/2007/08/ keragaman individu dalam kecapan dan
kepribadian.
Widodo judarwanto. 2008. Medika.htm/ deteksi dini adhd
(attention deficit hyperactive disorders)oleh: illa suryaningsih BK-B 2010 (101014051)
No comments:
Post a Comment