Thursday, April 12, 2012

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK


TEORI BELAJAR GUILFORD
BAB I
PENDAHULUAN
Kecerdasan dalam Belajar
Teori Guilford banyak membicarakan mengenai struktur intelejensi/kecerdasan seseorang yang banyak mengarah pada kretivitas seseorang. Guilford menerangkan tentang Kecerdasan yang di diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab melalui situasi sekarang untuk semua peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang akan datang. Dalam konteks ini maka yang namanya belajar adalah termasuk berpikir, atau berupaya berpikir untuk menjawab segala masalah yang dihadapi. Konsepnya memang kompleks, karena setiap masalah akan berbeda cara penanganannya bagi setiap orang. Untuk itu diperlukan perilaku intelejen, yang tentu sangat berbeda dengan perilaku nonintelejen. Yang pertama (perilaku intelejen) ditandai dengan adanya sikap dan perubahan kreatif, kritis, dinamis, dan bermotif (bermotivasi), sedangkan yang kedua keadaannya sebaliknya. Pengertian kebiasaan juga mengandung arti kebiasaan kreatif, bukan kebiasaan pasif reaktif (mekanis) seperti pada pandangan kaum behavioris.

Berpikir Kreatif
Peningkatan self regulated learning dapat dilakukan dengan cara menguatkan kemampuan berpikir kreatif. Sebab, elemen-elemen dalam berpikir kreatif dapat menjadi landasan bagi terwujudnya self regulated learning. Berpikir kreatif adalah berpikir lintas bidang, berpikir bisosiatif, berpikir lateral, berpikir divergen. Berpikir kreatif ditandai dengan karakteristik berpikir yang fluency, flexibility, originality, elaboration, redifinition, novelty (Guilford, 1973) Di samping itu, berpikir kreatif juga menuntut adanya pengikatan diri terhadap tugas (task commitment) yang tinggi. Artinya, kreativitas menuntut disiplin yang tinggi dan konsisten terhadap bidang tugas.
Kreativitas, menurut Guilford (1967), dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas. Hidup berarti menghadapi masalah, dan memecahkan masalah berarti tumbuh berkembang secara intelektual  (J.P. Guilford).
BAB II
PEMBAHASAN
Teori Guilford
Hidup berarti menghadapi masalah, dan memecahkan masalah berarti tumbuh berkembang secara intelektual  (J.P. Guilford) .P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu :
Operasi Mental (Proses Befikir)
  1. Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang baru).
  2. Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari).
  3. Memory Recording (ingatan yang segera).
  4. Divergent Production (berfikir melebar atau banyak kemungkinan jawaban/ alternatif).
  5. Convergent Production (berfikir memusat atau hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif).
  6. Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat, atau memadai).
Content (Isi yang Dipikirkan)
  1. Visual (bentuk konkret atau gambaran).
  2. Auditory.
  3. Word Meaning (semantic).
  4. Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik).
  5. Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara).
Contoh : Sejak umur 3 tahun anakku sudah mampu membaca. 7 bulan kemudian semua kata berbahasa Indonesia dapat dibacanya dengan baik. Layaknya anak di bangku sekolah dasar. Karena jenis tulisan favoritnya adalah dongeng atau cerita anak, ditambahkannya mimik dan intonasi untuk menggambarkan pembedaan tokoh. Lambat laun kerap muncul pertanyaan seputar kata yang belum dipahaminya. Kadang dilemparkannya dengan emosi, misalnya: “Kenapa sih, anak itu tidak mau meminjamkan mainannya? Ara aja mau kasih pinjam mainan ke teman-teman.”
Ilustrasi riil di atas menggambarkan tercapainya parameter konten menurut struktur kemampuan intelektual menurut Guilford (1982); digambarkan sebagai kelompok (tipe) informasi, seperti: berwujud, simbolik, semantik, menggambarkan perilaku dan merupakan interaksi nonverbal individu. Singkat kata, model ‘Guilford’ menunjukkan halaman yang sebenarnya tidak baru dalam pendidikan dan konsep keberbakatan. Sebuah rasionalisasi pengamatan keberbakatan dari berbagai segi, yang dihantarkan lewat metode mendongeng atau bercerita bagi anak. Dari sini kita akan beranjak pada peran vital pendidikan dalam menentukan tidak hanya keberlangsungan masyarakat, namun juga mengukuhkan identitas individu dalam masyarakat.
Product (Hasil  Berfikir)
  1. Unit (item tunggal informasi).
  2. Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama).
  3. Relasi (keterkaitan antar informasi).
  4. Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan).
  5. Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi).
  6. Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).
Struktur Intelegensi
Inteligensi dan IQ
Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
  1. Faktor bawaan atau keturunan. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 – 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 – 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
  2. Faktor lingkungan. Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
Inteligensi dan Bakat
Inteligensi  adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, merespon secara benar dan tepat serta menyesuaikan  dengan lingkungan. Di dalam struktur inteligensi menurut Guilford juga terkandung komponen ingatan. Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inteligensi merupakan potensi yang diturunkan  dan dimiliki oleh setiap orang  untuk berfikir secara logis, berfikir abstrak dan kelincahan berfikir.
Belakangan ini banyak orang menggugat tentang kecerdasan intelektual (unidimensional), yang konon dianggap sebagai anugerah yang dapat mengantarkan kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda sepakbola dunia,. Apakah mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau cerdas ? Dalam teori kecerdasan tunggal (uni-dimensional), kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja.  Dalam hal ini,  Teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya sebagai tampak dalam tabel di bawah ini:
INTELIGENSI
KEMAMPUAN INTI
1. Logical – Mathematical
Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berfikir rasional.
2. Linguistic
Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa.
3. Musical
Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme. Nada dan bentuk-bentuk ekspresi musik.
4. Spatial
Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan tranformasi persepsi tersebut.
5.Bodily Kinesthetic
Kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan mengenai objek-objek  secara terampil.
6. Interpersonal
Kemampuan untuk mengamati dan merespons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain.
7. Intrapersonal
Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi sendiri.
  1. Pengembangan bakat matematika
Karakteristik siswa berbakat dalam bidang matematika (Greenes, dalam Munandar, 1999): fleksibilitas dalam mengolah data, kemampuan luar biasa untuk menyusun data, ketangkasan mental, penafsiran yang orisinil, kemampuan luar biasa uantuk mengalihkan gagasan, dan kemampuan luar biasa untuk generalisasi. Greenes menambahkan bahwa siswa berbakat matematika lebih menyukai komunikasi lisan daripada tulisan. Saran bagi guru dalam merencanakan model pembelajaran bagi siswa yang berbakat matematika: mendorong pertimbangan dan pemikiran mandiri, mendorong siswa untuk menggunakan berbagai metode untuk memecahkan masalah yang sama, mendorong siswa untuk melakukan pengecekan, memberikan masalah yang menantang dan luar biasa
Kecakapan potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikatornya. Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka pada dasarnya indikator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang diharapkan) dan  kemudahan (tanpa menghadapi hambatan dan kesulitan yang berarti) dalam bertindak.
Dengan indikator-indikator perilaku inteligensi tersebut, para ahli mengembangkan instrumen-instrumen standar untuk mengukur perkiraan kecakapan umum (kecerdasan) dan kecakapan khusus (bakat) seseorang. Alat ukur inteligensi yang paling dikenal dan banyak digunakan di Indonesia ialah Tes  Binet Simon – walaupun sebetulnya menurut hemat penulis alat ukur tersebut masih terbatas untuk mengukur inteligensi atau bakat persekolahan (scholastic aptitude), belum dapat mengukur aspek – aspek inteligensi  secara keseluruhan (multiple inteligence). Selain itu, ada juga tes intelegensi yang bersifat lintas budaya yaitu Tes Progressive Metrices (PM) yang dikembangkan oleh Raven.
Dari hasil pengukuran inteligensi tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat integensi (biasa disebut IQ = Intelligent Quotient yaitu ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
Rumus yang biasa digunakan untuk menghitung IQ seseorang adalah : 100 % x (Mentalege : Chrologolicalage)
Di bawah ini disajikan norma ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
IQ
KATEGORI
PERSENTASE
140
Jenius (Genius)
0.25 %
130-139
Sangat Unggul (Very Superior)
0.75 %
120-129
Unggul (Superior)
6 %
110-119
Diatas rata-rata (High Average)
13 %
90-109
Rata-rata (Average)
60 %
80 – 89
Dibawah Rata-Rata (Low Average)
13 %
70 – 79
Bodoh  (Dull)
6 %
50 – 69
Debil  (Moron)
0.75 %
25 – 49
Imbecil
0.20 %
< 25
Idiot
0.05 %
Selain menggunakan instrumen standar, seorang guru pada dasarnya dapat pula mendeteksi dan memperkirakan inteligensi peserta didiknya, melalui pengamatan yang sistematis tentang indikator– indikator kecerdasan yang dimiliki para peserta didiknya, yaitu dengan cara memperhatikan kecenderungan kecepatan ketepatan, dan kemudahan peserta didik dalam dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dan mengerjakan soal-soal pada saat ulangan atau ujian, sehingga pada akhirnya akan diketahui  kelompok peserta didik  yang tergolong cepat (upper group), rata-rata (midle group) dan lambat (lower group) dalam belajarnya.
Untuk mengukur bakat seseorang, dapat menggunakan beberapa instrumen standar, diantaranya : DAT (Differential Aptitude Test), SRA-PMA (Science Research Action – Primary Mental Ability), FACT (Flanagan Aptitude Calassification Test).
Alat tes ini dapat mengungkap tentang : (1) pemahaman kata; (2) kefasihan mengungkapkan  kata; (3) pemahaman bilangan; (4) tilikan ruangan; (5) daya ingat; (6) kecepatan pengamatan; (7) berfikir logis; dan (8) kecakapan gerak.
Perlu dicatat bahwa pengukuran tersebut, baik menggunakan instrumen standar atau hanya berdasarkan pengamatan sistematis guru bukanlah bersifat memastikan tingkat kecerdasan atau bakat seseorang namun hanya sekedar memperkirakan (prediksi) saja, untuk kepentingan pengembangan diri. Begitu juga kecerdasan atau bakat seseorang bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tingkat keberhasilan atau kesuksesan hidup seseorang.
Dalam rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated Learning),  Balitbang Depdiknas telah mengidentifikasi ciri-ciri keberbakatan peserta didik dilihat dari aspek kecerdasan,   kreativitas dan komitmen terhadap tugas,  yaitu:
  1. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya);
  2. Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan;
  3. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berfikir logis dan kritis
  4. Mampu belajar/bekerja secara mandiri;
  5. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa);
  6. Mempunyai  tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya
  7. Cermat atau teliti dalam mengamati;
  8. Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah;
  9. Mempunyai minat luas;
  10. Mempunyai daya imajinasi yang tinggi;
  11. Belajar dengan dan cepat;
  12. Mampu mengemukakan dan mempertahankan pendapat;
  13. Mampu berkonsentrasi;
  14. Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.
Selain kecerdasan intelektual J.F. Guilford  juga mengemukakan mengenai faktor kepribadian seseorang. Kepribadian sudah dimulai sekurang-kurangnya pada awal tahun 1930-an, ketika ia menerbitkan sebuah makalah yang menunjukan bahwa item-item yang dimaksudkan untuk mengukur sifat tunggal introversi-ekstroversi sesungguhnya mencakup beberapa faktor kepribadian yang berbeda, salah satu hasil dari penelitian ini adalah inventori keperibadian yang di namakan Guilford zimmerman Temperament Survey yang mengukur 10 sifat yang dirumuskan sebagai faktor-aktivitas umum, rasa terkekang versus ratimia ( kecenderungan untuk takenal susah), sifat subyek berkuasa, sifat suka bergaul, stabilitas emosi, objektivitas, keramah-tamahan, sifat hati-hati, hubungan-hubungan pribadi, dan kejantanan tampak, ada sedikit persamaan antara daftar ini dan daftar Cattell. Rupanya sampai taraf tertentu, hal ini disebabkan karena Guilford lebih suka menggunakan faktor-faktor ortogonal, sedangkan Cattell membiarkan faktor-faktornya bersifat oblik satu sama lain.
Guilford melihat keperibadian sebagai suatu struktur sifat  yang tersusun secara hirarkis, mulai dari tipe-tipe yang luas pada puncaknya. Kemudian sifat-sifat primer , kemudian hexes ( yakni, diposisi-diposisi agak khusus sepeti kebiasaan-kebiasaan.) .Guilford juga mengakui adanya sejumlah sub-area utama dalam keperibadian serta sifat-sifat abilitas, teperamen dan dinamik. Jadi, dalam ranah temperamen, dimensi “positf-negatif “ melahirkan faktor “ percaya dari versus interior” dalam bidang tingkah laku umum dan faktor” sifat periang versus sifat pemalu” dalam bidang emosi.
Contoh Penerapan Teori Guilford Dalam Pembelajaran Matematika
Dalam pembelajarn matematika Contoh soal kreativitas yang di kembangkan oleh Guilford di terapkan mulai pada tingkat taman kanak-kanak, yaitu dalam mengenal bilangan, mengambar bangun datar dan bangun ruang.  Pada tingkat sekolah dasar maupun menengah bahkan pada tingkat perguruan tinggi terdapat beberapa materi yang esensisal yang memungkinkan anak untuk berkreatifitas misalnya materi geometri,
Salah satu contoh materi menentukan kretifitas siswa dalam memecahkan masalah :
  1. Siswa di kelas di perkenalkan sebuah bangun ruang, yaitu kubus ABCD EFGH yang disusun dari beberapa bidang sisi, siswa dikelas diperkenalkan salah satu jaring-jaring kubus :
Siswa diberikan waktu untuk memikirkan berdasarkan contoh yang telah diberikan untuk menemukan sendiri susunan jaring-jaring kubus yang lain.
  1. Dalam lomba pacuan kuda terdapat 15 lebih kaki kuda daripada ekornya. Berapa banyak kuda pada lomba itu?
Penye :
Cara 1.
Misal x = banyak kuda
x juga menyatakan banyak ekor kuda.
x+15 = 4x
3x = 15
x = 5.
Jadi, Banyak kuda adalah 5
Cara 2.
Kaki kuda 4 dan ekor satu.
Lebihnya ada 15
Kaki dikurangi ekor ada 3
Bagi 15/3 = 5.
Banyak kuda adalah 5
Cara 3.
Banyak kuda       Kaki      ekor    lebihnya kaki
1                            4          1            3
2                            8           2           6
3                            12         3           9
4                             16        4           12
5                             20         5           15
Banyak kuda adalah 5.
Dari tabel kalau lebihnya pasti kelipatan 3, jadi banyak kuda dapat dicari dengan membagi 3 dari lebih kakinya. Misalkan lebihnya 36, maka banyak kuda pasti 12.
  1. Bagaimanakah cara mendapatkan 6 liter air dari suatu bak, bila hanya tersedia gelas ukuran 9 liter dan 4 liter?
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kreativitas, menurut Guilford dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas.
Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu : Operasi Mental (Proses Befikir) , Content (Isi yang Dipikirkan), Visual (bentuk konkret atau gambaran). Auditory. Word Meaning (semantic). Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik). Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara) dan Product (Hasil  Berfikir).


Saran
Teori Guilgord banyak membahas mengenai struktur intelektual siswa, bagaimana kreativitas siswa, dan banyak membahas mengenai psikologi kepribadian. Kepada rekan-rekan mahasiswa khususnya yang akan menyelesaikan tugas akhirnya yang membahas mengenai intelegensi dan kreativitas siswa sebaiknya lebih mengembangkan  teori ini.

DAFTAR PUSTAKA
Bigge, morris l. 1982. Learning theories for teachers, edisi ke-4. New york, harper & raw. Interner diakses 25 mei 2008.
DePorter, Bobbi & Mike Hemacki.2002. Quantujm lerning. Bandung: Kifah.
Guilford, j.p. 1973. Fundamental statistic in psychology and education. New York : mc graw-hill book company
Guilford, j.p., 1967. The nature of human intelligence, new york: mcgraw-hill.
Guilford, j.p. 1982. Psychometric methods (2nd.ed). New york: mcgraw-hill publishing co.ltd.
Http://Dakwah.Uin-Suka.Ac.Id/File_Ilmiah/Memor%20dakwah.Doc (diakses 25 mei 2008).
Http://www.soisystems.com/index.html
Http://home1.pacific.net.sg/soi
Http://www.indiana.edu/intell/guilford.html.
http://tip.psychology.org/theories.html.Akses 25 Mei 2008.
Irwanto, dkk. 1989. Psikologi umum: buku panduan mahasiswa. Jakarta, Gramedia.
Nugroho. 2008. Self-Regulated Learning Anak Berbakat e-mail: dono_dong@yahoo.comuniversitas negeri semarang, jawa tengah
Simpang empat» arsip
blog » teori-teori kattell.htm (diakses 25 Mei 2008)
Pawit m. Yusup,2008.Teori-Teori Belajar Kognitif Dalam Aplikasi Ilmu Sosial, Komunikasi, Informasi, dan Perpustakaan. Internet diakses 25 mei 2008).
Popham,w.j.1999. Classroon asessment: what teachers need to know. Mass: allyn-bacon.
Scandura, j.m. & scandura, a. (1980). Structural learning and concrete operations: an Approach to piagetian conservation. Ny: praeger. Available at: Http://tip.psychology.org/theories.html. Akses 25 Mei 2008.
Siswono, Tatag Yuli Eko Pembelajaran Matematika Berbasis Pemecahan Masalah “Realistik” (Realistics Problem Solving). makalah seminar pendidikan.Makasar, 23 Pebruari 2008 yang diadakan oleh MGMP Matematika Makassar.
Soenarto, hardi.dkk. 2007. Memahami Psikotes. Bandung: CV. Pustaka Grafika.
Sudrajat, Ahmad. Internet. Akses 25 mei 2008 http:// konseling kita.files.wordpress.com/2007/08/ keragaman individu dalam kecapan dan kepribadian.
Widodo judarwanto. 2008. Medika.htm/ deteksi dini adhd (attention deficit hyperactive disorders)


                                                                                        oleh: illa suryaningsih BK-B 2010 (101014051)

No comments:

Post a Comment