SEJARAH LAHIRNYA BK DI AWALI DI AMERIKA
Menengok sejarah perkembangannya, bimbingan konseling berawal di Amerika
Serikat yang dipelopori oleh seorang tokoh besar yaitu Frank Parson melalui gerakan yang terkenal yaitu guidance movement (gerakan bimbingan). Awal kelahiran gerakan ini dimaksudkan sebagai upaya mengatasi semakin banyaknya veteran perang yang tidak memiliki peran. Oleh karena itu, Frank Person berupaya memberi bimbingan vocational sehingga veteran-veteran tersebut tetap dapat berkarya sesuai kondisi mereka. Selanjutnya, gerakan ini berkembang tidak semata pada bimbingan vocational, tapi meluas pada bidang-bidang lain yang akhirnya masuk pula dalam pendidikan formal.
Dalam pendidikan formal, bimbingan (dan konseling) ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membantu siswa (peserta didik) mencapai titik optimal perkembangan mereka. Pencapaian-pencapaian itu dilakukan oleh petugas yang (di Indonesia) dikenal dengan sebutan guru pembimbing atau guru BK (bimbingan dan konseling), di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan konselor sekolah. Dalam mencapai tujuan tersebut guru pembimbing melakukan berbagai upaya. Salah satu upaya yang sekaligus menjadi ujung tombak dari keseluruhan kegiatan bimbingan adalah kegiatan konseling.
Kegiatan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Dalam arti untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan kemampuan (keterampilan) khusus tentang praktik konseling, karena kegiatan konseling bukan kegiatan menasihati, memarahi, atau sekadar obrolan ”omong kosong”. Pelatihan-pelatihan konseling yang diberikan pada (bimbingan konseling) sedikit banyak memecah kekacauan pandangan dan tindakan tentang tugas-tugas pembimbing bahkan keberadaan bimbingan konseling itu sendiri.
Karakteristik seperti itu menjadikan guru pembimbing atau guru bimbingan dan konseling memiliki tipe kerja tersebut, yang seandainya disamakan dengan guru-guru bidang studi lain akan jauh berbeda. Sebenarnya antara guru pembimbing dengan guru-guru bidang studi memiliki kesamaan yaitu dalam visi dan misi pendidikan.
Sementara strategi yang ditempuh yang menjadikan mereka tampak berbeda. Guru bidang studi banyak berinteraksi dengan peserta didik di ruang kelas, melaksanakan semua instrumen kegiatan belajar mengajar. Sementara guru pembimbing lebih banyak berkecimpung dalam proses konseling yang semuanya itu dilakukan tidak secara klasikal dengan memakai ruang kelas. Guru pembimbing lebih akan memakai pendekatan yang bersifat individual dan”santai”.
Keberadaan ini yang menuntut kejelian serta ”kecerdasan” kita dalam memaknai bimbingan konseling. Akan sangat berat bila pikiran kita dipaksa untuk menyamakan bimbingan konseling dari kaca mata tugas-tugas guru bidang studi biasa. Tampaknya, bila ditarik dari sisi pesimis, munculnya sikap diskriminatif berpangkal dari tafsir bahwa bimbingan dan konseling hanya sisipan atau pelengkap ”penderita” dari keseluruhan pendidikan formal, kalau memang tidak karena sikap kita dari semula telah diskriminatif ataupun korup (?). Tak berlebihan bila akhirnya kondisi ini yang memicu lahirnya tindakan-tindakan diskriminatif pada petugas-petugas bimbingan konseling di lapangan.
Di Amerika Serikat sendiri —tanpa bermaksud membandingkan apalagi menjiplak— bimbingan konseling terus berkembang dan telah berperan sebagaimana keberadaannya. Kondisi Indonesia tentu lain, sekali lagi, surat pembaca di atas menjadi contoh bagaimana keterbatasan pengetahuan pada apa yang disebut dengan imbingan konseling telah melahirkan tindakan-tindakan yang perlu terus dikoreksi.
Ada beberapa langkah bijak yang perlu dilakukan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, tentunya kemauan kita memahami guliran ilmu-ilmu di muka bumi ini yang terus berkembang yang melahirkan cabang-cabang ilmu baru dan cabang-cabang profesi baru.
Kedua, adalah kemauan menerima semua itu sebagai sebuah realita.
Ketiga, mau hidup berdampingan dengan ilmu-ilmu yang menurut telinga kita baru.
Terakhir, mau berkolaborasi dengan hal-hal baru tersebut sehingga terwujud apa yang
dicita-citakan oleh pendidikan formal kita.
Menengok sejarah perkembangannya, bimbingan konseling berawal di Amerika
Serikat yang dipelopori oleh seorang tokoh besar yaitu Frank Parson melalui gerakan yang terkenal yaitu guidance movement (gerakan bimbingan). Awal kelahiran gerakan ini dimaksudkan sebagai upaya mengatasi semakin banyaknya veteran perang yang tidak memiliki peran. Oleh karena itu, Frank Person berupaya memberi bimbingan vocational sehingga veteran-veteran tersebut tetap dapat berkarya sesuai kondisi mereka. Selanjutnya, gerakan ini berkembang tidak semata pada bimbingan vocational, tapi meluas pada bidang-bidang lain yang akhirnya masuk pula dalam pendidikan formal.
Dalam pendidikan formal, bimbingan (dan konseling) ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membantu siswa (peserta didik) mencapai titik optimal perkembangan mereka. Pencapaian-pencapaian itu dilakukan oleh petugas yang (di Indonesia) dikenal dengan sebutan guru pembimbing atau guru BK (bimbingan dan konseling), di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan konselor sekolah. Dalam mencapai tujuan tersebut guru pembimbing melakukan berbagai upaya. Salah satu upaya yang sekaligus menjadi ujung tombak dari keseluruhan kegiatan bimbingan adalah kegiatan konseling.
Kegiatan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Dalam arti untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan kemampuan (keterampilan) khusus tentang praktik konseling, karena kegiatan konseling bukan kegiatan menasihati, memarahi, atau sekadar obrolan ”omong kosong”. Pelatihan-pelatihan konseling yang diberikan pada (bimbingan konseling) sedikit banyak memecah kekacauan pandangan dan tindakan tentang tugas-tugas pembimbing bahkan keberadaan bimbingan konseling itu sendiri.
Karakteristik seperti itu menjadikan guru pembimbing atau guru bimbingan dan konseling memiliki tipe kerja tersebut, yang seandainya disamakan dengan guru-guru bidang studi lain akan jauh berbeda. Sebenarnya antara guru pembimbing dengan guru-guru bidang studi memiliki kesamaan yaitu dalam visi dan misi pendidikan.
Sementara strategi yang ditempuh yang menjadikan mereka tampak berbeda. Guru bidang studi banyak berinteraksi dengan peserta didik di ruang kelas, melaksanakan semua instrumen kegiatan belajar mengajar. Sementara guru pembimbing lebih banyak berkecimpung dalam proses konseling yang semuanya itu dilakukan tidak secara klasikal dengan memakai ruang kelas. Guru pembimbing lebih akan memakai pendekatan yang bersifat individual dan”santai”.
Keberadaan ini yang menuntut kejelian serta ”kecerdasan” kita dalam memaknai bimbingan konseling. Akan sangat berat bila pikiran kita dipaksa untuk menyamakan bimbingan konseling dari kaca mata tugas-tugas guru bidang studi biasa. Tampaknya, bila ditarik dari sisi pesimis, munculnya sikap diskriminatif berpangkal dari tafsir bahwa bimbingan dan konseling hanya sisipan atau pelengkap ”penderita” dari keseluruhan pendidikan formal, kalau memang tidak karena sikap kita dari semula telah diskriminatif ataupun korup (?). Tak berlebihan bila akhirnya kondisi ini yang memicu lahirnya tindakan-tindakan diskriminatif pada petugas-petugas bimbingan konseling di lapangan.
Di Amerika Serikat sendiri —tanpa bermaksud membandingkan apalagi menjiplak— bimbingan konseling terus berkembang dan telah berperan sebagaimana keberadaannya. Kondisi Indonesia tentu lain, sekali lagi, surat pembaca di atas menjadi contoh bagaimana keterbatasan pengetahuan pada apa yang disebut dengan imbingan konseling telah melahirkan tindakan-tindakan yang perlu terus dikoreksi.
Ada beberapa langkah bijak yang perlu dilakukan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, tentunya kemauan kita memahami guliran ilmu-ilmu di muka bumi ini yang terus berkembang yang melahirkan cabang-cabang ilmu baru dan cabang-cabang profesi baru.
Kedua, adalah kemauan menerima semua itu sebagai sebuah realita.
Ketiga, mau hidup berdampingan dengan ilmu-ilmu yang menurut telinga kita baru.
Terakhir, mau berkolaborasi dengan hal-hal baru tersebut sehingga terwujud apa yang
dicita-citakan oleh pendidikan formal kita.
oleh : illa suryaningsih BK-B 2010 (101014051),
No comments:
Post a Comment